Jumat, 20 Desember 2013

Catatan Buku Kesatu RUU KUHP


Indonesia kini memasuki babakan baru terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP yang dinilai kurang responsif lagi terhadap berbagai persoalan pidana di Indonesia membuat para law maker berinisiatif melakukan perubahan-perubahan bahkan penambahan pasal yang dinilai mampu mengikuti perkembangan zaman. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya perancangan KUHP oleh DPR beserta elemen-elemen terkait hingga saat ini  terbentuk RUU KUHP Tahun 2012 yang kabarnya akan disahkan sebelum berakhirnya masa pemerintahan SBY.
Penulis dalam hal ini mencoba memberikan tanggapan pasal demi pasal khusus untuk Buku Kesatu dalam RUU KUHP tersebut, bagaimanapun RUU KUHP ini tak luput dari tanggapan bahkan kritik oleh berbagai kalangan temasuk penulis sendiri.
Pada dasarnya RUU KUHP hanya terbagi dua buku yakni Buku kesatu Ketentuan Umum dan Buku kedua Tindak Pidana dan tidak mengklasifikasikan antara kejahatan dengan pelanggaran, berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini yang terdiri atas Buku kesatu Ketentuan umum, Buku kedua Kejahatan dan Buku ketiga Pelanggaran. Selain itu khusus untuk buku kesatu RUU KUHP terdapat pertambahan pasal dari 103 pasal dalam KUHP menjadi 211 Pasal dalam RUU KUHP.
Berikut ini point yang menjadi fokus penulis dalam Buku Kesatu RUUKUHP 2012:
1.    Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pidana
-          Menurut Waktu
Untuk bagian ini penulis menganggap terjadi kontradiksi antara Pasal 1 ayat (1) dengan Pasal 2. Sebagaimana berikut ini:
Pasal 1
(1)  Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan indakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Pasal 2
(1)  Ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
                       
Pasal 2 secara tidak langsung mengakui hukum adat yakni hukum yang berlaku di suatu daerah di Indonesia sepanjang  sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Meskipun demikian, penulis perpendapat seharusnya hukum adat ditentukan menurut Peraturan daerah (Perda) masing-masing. Tidak diatur secara nasional dengan mencantumkan ke dalam KUHP.
           
-          Menurut Tempat
Di bagian ini, RUU KUHP mengatur lebih detail berdasarkan asas-asas seperti Asas Wilayah atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif. Untuk Asas nasional aktif misalnya secara jelas dicantumkan setiap orang yang melakukan korupsi maupun pencucian uang meskipun berada di luar wilayah NKRI begitupun tindak pidana di bidang Teknologi informasi yang diatur menurut asas wilayah dan teritorial. RUU KUHP juga secara jelas mencantumkan locus dan tempus delicti di bagian berikutnya.
Yang menarik adalah bahwa RUU KUHP ini terlihat labih superior karena tidak mengecualikan pejabat asing dalam hal ini diplomat dan sebagainya.

2.    Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Untuk bab II dalam RUU KUHP ini terdapat pada Pasal 11, dan secara ditegas dicantumkan definisi dari tindak pidana itu sendiri pada ayat (1). Yang menyita perhatian adalah pada ayat (2) terdapat dua unsur yakni selain kategori tindak pidana menurut aturan tertulis juga harus bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini lagi-lagi hukum adat menjadi unsur penentu apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan tidak pidana di daerah tertentu. Jika bukan tindak pidana, maka hukum tertulis pun “kalah” dari hukum adat.
Dalam Bab ini juga terdapat pasal mengenai Permufakatan Jahat, Percobaan, Penyertaan, Pengulangan, tindak pidana Aduan maupun pertanggung jawaban pidana yang kesemuanya itu dijelaskan lebih rinci.

3.    Pemidanaan, Pidana dan Tindakan
Pada bagian selanjutnya yakni Bab III mengenai Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, terdapat tujuan pemidanaan yang dicantumkan secara rinci. Akan tetapi pada Pasal 54 ayat (1) Poin (d) bahwa tujuan pemidanaan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, menurut penulis hal ini relatif pada tiap-tiap orang. Oleh karena itu point ini tidaklah penting.
Kemudian jika pada KUHP jenis-jenis Pidana diatur dalam Pasal 10, RUU KUHP mengatur jenis-jenis Pidana di Pasal 65. Terdapat tambahan dalam pidana pokok yakni pidana tutupan, pengawan dan pidana kerja sosial yang pelaksanaannya dijelaskan pasal demi pasal. Pidana kurungan dihilangkan dan pidana mati diatur khusus di pasal selanjutnya. Selain itu pidana tambahan juga diatur dalam pasal tertentu dengan mencantumkan pemenuhan kewajiban adat  setempat  atau  kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
       Hal yang tak kalah menarik adalah ketentuan pidana seumur hidup. Pada Pasal 70 di jelaskan bahwa ketika terpidana telah menjalani pidana 17 tahun maka kepadanya diberi kebebasan bersyarat. Pidana seumur hidup pada dasarnya menghabiskan umurnya di penjara hingga terpidana meninggal namun dengan ketentuan ini terdapat penafsiran yang berbeda.



4.    Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
Hal yang menjadi point menarik pada bab ini adalah bahwa “penyelesaian di luar proses” sebagaimana Pasal 145 poin (d) termasuk hal yang menggugurkan penuntutan. Selain itu, Kewenangan penuntutan juga gugur karena daluwarsa yang masing-masing jenis pidana memiliki waktu tertentu.
Hal yang mesti jadi perhatian adalah tenggang waktu yang ditentukan tersebut. Perbuatan pidana di bawah dan di atas 3 tahun misalnya berdasarkan Pasal 149 ayat (1) poin c dan d. Penuntutan gugur setelah 6 tahun jika pidananya di bawah 3 tahun dan penuntutan gugur setelah 12 tahun jika di atas 3 tahun. Hal ini akan menimbulkan multitafsir ketika dijatuhi hukuman 4 tahun. Dimana menurut ketentuan penuntutannya gugur setelah 12 tahun. Selisih waktu 3 dan 4 tahun hanya 1 tahun tetapi waktu penentuan masa daluwarsanya 6 tahun.

5.    Pengertian Istilah
Di bab ini juga terdapat pertambahan beberapa istilah dari KUHP saat ini. Benda cagar budaya misalnya, sebelumnya benda ini tidak diatur kemudian menjadi benda yang diatur secara nasional dalam RUU KUHP 2012. Mengenai informasi elektronik dan juga pornografi serta istilah sistem komputer.
Secara keseluruhan pasal-pasal ini sudah jelas.

6.    Ketentuan Penutup

Bab ini diatur dalam Pasal 211  yang berisi: Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi  perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan tersebut. Tidak ada masalah dalam pasal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar