Indonesia
kini memasuki babakan baru terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP yang dinilai kurang responsif lagi terhadap berbagai persoalan pidana di
Indonesia membuat para law maker
berinisiatif melakukan perubahan-perubahan bahkan penambahan pasal yang dinilai
mampu mengikuti perkembangan zaman. Hal inilah yang melatarbelakangi
dilakukannya perancangan KUHP oleh DPR beserta elemen-elemen terkait hingga
saat ini terbentuk RUU KUHP Tahun 2012
yang kabarnya akan disahkan sebelum berakhirnya masa pemerintahan SBY.
Penulis
dalam hal ini mencoba memberikan tanggapan pasal demi pasal khusus untuk Buku
Kesatu dalam RUU KUHP tersebut, bagaimanapun RUU KUHP ini tak luput dari tanggapan
bahkan kritik oleh berbagai kalangan temasuk penulis sendiri.
Pada
dasarnya RUU KUHP hanya terbagi dua buku yakni Buku kesatu Ketentuan Umum dan
Buku kedua Tindak Pidana dan tidak mengklasifikasikan antara kejahatan dengan
pelanggaran, berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini yang terdiri atas Buku kesatu
Ketentuan umum, Buku kedua Kejahatan dan Buku ketiga Pelanggaran. Selain itu
khusus untuk buku kesatu RUU KUHP terdapat pertambahan pasal dari 103 pasal
dalam KUHP menjadi 211 Pasal dalam RUU KUHP.
Berikut
ini point yang menjadi fokus penulis dalam Buku Kesatu RUUKUHP 2012:
1. Ruang
Lingkup Berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pidana
-
Menurut Waktu
Untuk
bagian ini penulis menganggap terjadi kontradiksi antara Pasal 1 ayat (1)
dengan Pasal 2. Sebagaimana berikut ini:
Pasal
1
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau
dikenakan indakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
Pasal
2
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan
Pasal 2 secara tidak langsung mengakui
hukum adat yakni hukum yang berlaku di suatu daerah di Indonesia sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa. Meskipun demikian, penulis perpendapat
seharusnya hukum adat ditentukan menurut Peraturan daerah (Perda)
masing-masing. Tidak diatur secara nasional dengan mencantumkan ke dalam KUHP.
-
Menurut Tempat
Di
bagian ini, RUU KUHP mengatur lebih detail berdasarkan asas-asas seperti Asas Wilayah
atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif.
Untuk Asas nasional aktif misalnya secara jelas dicantumkan setiap orang yang
melakukan korupsi maupun pencucian uang meskipun berada di luar wilayah NKRI
begitupun tindak pidana di bidang Teknologi informasi yang diatur menurut asas
wilayah dan teritorial. RUU KUHP juga secara jelas mencantumkan locus dan tempus delicti di bagian
berikutnya.
Yang
menarik adalah bahwa RUU KUHP ini terlihat labih superior karena tidak
mengecualikan pejabat asing dalam hal ini diplomat dan sebagainya.
2. Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Untuk bab II dalam RUU KUHP ini terdapat
pada Pasal 11, dan secara ditegas dicantumkan definisi dari tindak pidana itu
sendiri pada ayat (1). Yang menyita perhatian adalah pada ayat (2) terdapat dua
unsur yakni selain kategori tindak pidana menurut aturan tertulis juga harus bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini lagi-lagi hukum adat
menjadi unsur penentu apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan
tidak pidana di daerah tertentu. Jika bukan tindak pidana, maka hukum tertulis
pun “kalah” dari hukum adat.
Dalam Bab ini juga terdapat pasal
mengenai Permufakatan Jahat, Percobaan, Penyertaan, Pengulangan, tindak pidana
Aduan maupun pertanggung jawaban pidana yang kesemuanya itu dijelaskan lebih
rinci.
3. Pemidanaan,
Pidana dan Tindakan
Pada bagian selanjutnya yakni Bab III
mengenai Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, terdapat tujuan pemidanaan yang
dicantumkan secara rinci. Akan tetapi pada Pasal 54 ayat (1) Poin (d) bahwa
tujuan pemidanaan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, menurut penulis hal
ini relatif pada tiap-tiap orang. Oleh karena itu point ini tidaklah penting.
Kemudian jika pada KUHP jenis-jenis
Pidana diatur dalam Pasal 10, RUU KUHP mengatur jenis-jenis Pidana di Pasal 65.
Terdapat tambahan dalam pidana pokok yakni pidana tutupan, pengawan dan pidana
kerja sosial yang pelaksanaannya dijelaskan pasal demi pasal. Pidana kurungan
dihilangkan dan pidana mati diatur khusus di pasal selanjutnya. Selain itu
pidana tambahan juga diatur dalam pasal tertentu dengan mencantumkan pemenuhan
kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut
hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Hal yang tak kalah menarik adalah
ketentuan pidana seumur hidup. Pada Pasal 70 di jelaskan bahwa ketika terpidana
telah menjalani pidana 17 tahun maka kepadanya diberi kebebasan bersyarat.
Pidana seumur hidup pada dasarnya menghabiskan umurnya di penjara hingga
terpidana meninggal namun dengan ketentuan ini terdapat penafsiran yang
berbeda.
4. Gugurnya
Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
Hal yang menjadi point menarik pada bab ini adalah
bahwa “penyelesaian di luar proses” sebagaimana Pasal 145 poin (d) termasuk hal
yang menggugurkan penuntutan. Selain itu, Kewenangan penuntutan juga gugur
karena daluwarsa yang masing-masing jenis pidana memiliki waktu tertentu.
Hal yang mesti jadi perhatian adalah tenggang waktu
yang ditentukan tersebut. Perbuatan pidana di bawah dan di atas 3 tahun
misalnya berdasarkan Pasal 149 ayat (1) poin c dan d. Penuntutan gugur setelah
6 tahun jika pidananya di bawah 3 tahun dan penuntutan gugur setelah 12 tahun
jika di atas 3 tahun. Hal ini akan menimbulkan multitafsir ketika dijatuhi
hukuman 4 tahun. Dimana menurut ketentuan penuntutannya gugur setelah 12 tahun.
Selisih waktu 3 dan 4 tahun hanya 1 tahun tetapi waktu penentuan masa
daluwarsanya 6 tahun.
5. Pengertian
Istilah
Di
bab ini juga terdapat pertambahan beberapa istilah dari KUHP saat ini. Benda
cagar budaya misalnya, sebelumnya benda ini tidak diatur kemudian menjadi benda
yang diatur secara nasional dalam RUU KUHP 2012. Mengenai informasi elektronik
dan juga pornografi serta istilah sistem komputer.
Secara
keseluruhan pasal-pasal ini sudah jelas.
6. Ketentuan
Penutup
Bab ini diatur dalam Pasal 211 yang berisi: Ketentuan dalam Bab I sampai
dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi
perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain,
kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan tersebut. Tidak
ada masalah dalam pasal ini.
Tidak ada komentar: