You are here: Home »

Eksistensi KPK

Unknown Senin, 18 Maret 2013 0

Eksistensi KPK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi Negara paling maju dan makmur di dunia. Potensi itu dapat kita lihat dari kekayaan alam yang berlimbah di beribu-ribu pulau yang ada di Negara ini.
Potensi yang cukup besar ini akan lebih dan dapat memberi kontribusi bagi dunia jika didukung oleh sumber daya manusia yang handal dan inovatif dalam mengembangkan ide-ide yang dapat menjadikan Indonesia sebagai Negara yang diakui dunia. Tentu saja banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menuju cita-cita tersebut mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum menjadi indikator utama makmurnya suatu bangsa.
Hal di atas didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Talcott Parsons yang lebih dikenal dengan sebutan Sibernetika Talcott Parson (Talcott Parson’s Cybernetics) tentang empat subsistem yang menjalankan fungsi utama dalam kehidupan masyarakat[1] :
  1. Fungsi adaptasi (adaptation) dilaksanakan oleh subsistem ekonomi. Misalnya dengan melaksanakan produksi dan distribusi barang dan jasa.
  2. Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment) dilaksanakan oleh subsistem politik. Misalnya melaksanakan distribusi distribusi kekuasaan dam memonopoli unsur paksaan yang sah (negara).
  3. Fungsi integrasi (integration) dilaksanakan oleh subsistem hukum dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen yang beda pendapat/konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas sosial.
  4. Fungsi mempertahankan pola dan struktur masyarakat (lattent pattern maintenance) dilaksanakan oleh subsistem budaya menangani urusan pemeliharaan nilai-nilai dan norma-norma budaya yang berlaku dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi subsistem keluarga, agama dan pendidikan.
Keberadaan hukum atau posisi yang ditempati oleh hukum itu sendiri adalah mencakup keseluruhan bidang-bidang lain sebagai induk yang mengatur segala aspek kehidupan.
Dengan demikian akan terpadu pola yang ideal yang akan mendukung majunya suatu bangsa dan diakui di mata dunia.
Jika paparan sebelumnya merupakan das idea maka mari kita melihat kondisi kekinian yang terjadi di Negara kita tercinta. Dari segala aspek yang dikemukakan oleh talcott parsons, hukum merupakan bentuk representative yang tertinggi dalam mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu sejalan dengan Negara kita sebagai Negara hukum.
Indonesia merupakan Negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang terkandung dalam amanah pancasila dan UUD 1945. Kegigihan Indonesia dalam menegakkan hukum terlihat di era reformasi yang mampu meruntuhkan kekuasaan Soeharto sebagai bapak orde baru yang dikenal otoriter dalam memimpin bangsa. Praktek KKN korupsi,kolusi dan nepotisme menjadi penyakit dan momok yang menakutkan bagi rakyat Indonesia. Runtuhnya kekuasaan oerde baru ditandai lahirnya era baru dan munculnya cahaya terang dalam system hukum kita.
Namun harapan tetaplah harapan, pergantian kekuasaan tidaklah berpengaruh besar dalam memberantas tindakan melawan hukum. Praktek KKN terus meraja lela dari tahun ke tahun, kecurangan pemilu tetap menjadi trending topic yang melanglangbuana di negeri ini.
Hingga lahirlah komisi yang diharapkan dapat memberantas tindak pidana korupsi maupun praktek KKN lainnya. KPK yang singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi lahir atas ketidak percayaan dan ketidakgigihan penegak hukum yang ada seperti kejaksaan dan kepolisian. Tentu hal ini sah-sah saja dibentuk karena korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa namun telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan dibutuhkan lembaga yang luar biasa pula dalam menangani hal ini. Tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki sampai pada penuntutan kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah dicurigai kapanpun dan dimana pun. Sesuatu yang tak terelakkan terjadi bahwa kewenangan yang sama dimiki juga oleh POLRI dan penuntutan oleh Kejaksaan. Tentu dalam penerapannya terjadi dualisme kewenangan dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu sikap pemerintah sangat dibutuhkan sebagai penengah bagi sesama lembaganya.
Kegigihan KPK yang membanggakan pada akhirnya mendapat respon “miring” dari elite politik terutama anggota DPR sebagai pembuat Undang-undang. Melihat kewenangan KPK sedemikian dahsyatnya, isu-isu yang berkembang belakangan ini memperlihatkan keinginan DPR untuk memangkas kewenangan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK. Hal tersebut dimanfaatkan akibat terjadinya kasus korupsi pengadaan simulator sim yang melibatkan petinggi POLRI dimana kedua lembaga baik POLRI maupun KPK bersikukuh untuk mengambil alih penangan kasus tersebut. Niat DPR bisa saja dilakukan dengan kewenangannya yang berkaitan dengan undang-undang. Meskipun saat ini niat tersebut tidak tereaslisasi akibat gejolak yang terjadi dalam masyarakat yang mendukung KPK untuk terus menunjukkan taji kehebatannya dalam memberantas korupsi akan tetapi di lain waktu hal yang sama bisa saja dilakukan oleh DPR. Hal inipula yang menjadikan penulis termotivasi menuangkan ide dalam tulian sebagaimana judul makalah ini yaitu Pengadopsian KPK ke dalam UUD 1945 Sebagai Organ Konstitusi Dalam Upaya Penguatan Lembaga Negara Berbasis Kehakiman.

B. Rumusan masalah

Adapun masalah yang penulis rumuskan dalam makalah ini yaitu:
  1. Bagaimana upaya penguatan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia?
  2. Bagaimana langkah pemerintah dalam menangani dualisme kewenangan antar lembaga kehakiman?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini pada umumnya untuk menambah pengetahuan seputar studi ilmu hukum dan khususnya untu mengetahu hal-hal berikut
  1. Mengetahui upaya penguatan kewenagan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia
  2. Mengetahui langkah pemerintah dalam menangani dualism kewenangan antar lembaga kehakiman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Lembaga Negara Bantu

Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini di dasarkan kepada landasan ideology dan kontitusional Negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang bangun atas kreativitas bangsa sendiri[2]
Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, masyarakat semakin berkembang menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai penunjang.
Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.

B. POLRI, KEJAKSAAN dan KPK Sebagai Lembaga Negara

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
Lembaga-lembaga negara yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan[3],

“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.”

Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.
Namun karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Dari ketentuan di atas jelas bahwa kita tidak dapat membanding-bandingkan ketiga lembaga yakni Polri, Kejaksaan dan KPK mengingatketiganya Polri lahir secara eksplisit dalam UUD 1945 sedangkan Kejaksaan dan KPK diatur oleh Undang-undang.
Begitupun dengan kinerja ketiga lembaga ini, tidak pantas untuk disbanding-bandingkan. Hal ini pula pernah diungkapkan oleh Achmad ali yang menyatakan[4]
“ pendapat yang membandingkan kinerja KPK dan kinerja Kepolisian serta Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi dimana kesimpulan dari yang membuat pernyataan itu bahwa KPK lebih baik kinerjanya adalah perbandingan yang tidak proporsional”
Menurut Achmad ali membuat perbandingan haruslah proporsional dan variabelnya pun harus sama.
Lalu bagaimana jika terjadi ketimpangan antar lembaga dan memperebutkan kasus yang sama dengan mendasarkan pada kewenangan yang diemban masing-masing lembaga? Hal ini akan dijeleskan pada sub bab selanjutnya.

C. Distribusi Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Sistem Peradilan Pidana Korupsi

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia dan/atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kewenangan penyidik menurut Pasal 7 KUHAP adalah:
  • menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  • melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
  • menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  • melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
  • melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
  • mengambil sidik jari dan memotret seorang;
  • memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  • mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  • mengadakan penghentian penyidikan;
  • mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jadi, penyidik polri dapat melakukan penyidikan semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Selain penyidik Polri dan penyidik PNS, kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Akan tetapi, berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Kewenangan kejaksaan terkait korupsi ini selain diberikan oleh UU Kejaksaan juga diberikan oleh UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan lebih lanjut dijelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU.
Selain pihak polri dan kejaksaan, kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tugas KPK menurut Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yaitu:
  1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
  5. dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Wewenang KPK terkait dengan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi adalah terhadap tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
  1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara;
  2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau.
  3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Jadi, yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah penyidik Polri, Kejaksaan dan KPK.
Sebagaimana pada pemaparan sebelumnya bahwa tidak etis lembaga penegak hukum bersiteru dalam menegakkan hukum. Justru harus bersatu sebagai upaya peningkatan kredibilitas masing-masing lembaga.
Oleh karena itu pemerintah turun tangan dalam hal ini Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono untuk membuat perjanjian MoU Antara KPK, Kejaksaan, dan Polri terkait kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan tanggal 29 Maret 2012, yaitu:
Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.
Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali.
Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri.
Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.

D. Intervensi DPR terhadap Kewenangan KPK

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga Negara yang termaktub dalam UUD 1945 dengan tugas dan wewenang sebagai pembuat Undang-undang. Bukan hanya itu, undang-undang yang berlaku bahkan dapat direvisi jika dipandang tidak sesuai dengan konstitusi atau melanggar konstitusi.
Isu hangat akhir-akhir ini adalah keinginan DPR merevisi UU KPK karena dipandang terlalu jauh dan melanggar ketentuan perundang-undangan. DPR secara tidak langsung ingin “memangkas” kewenangan KPK dalam hal ini tentang wewenang melakukan penuntutan dan sebagainya. Keinginan merevisi UU KPK mendapat reaksi keras dari rakyat Indonesia karena dianggap melemahkan kewenangan KPK dan kembali kecara klasik yakni menyerahkan penuntutan kepada kejaksaan.
Berikut hal-hal yang akan direvisi oleh DPR terhadap UU KPK:
  1. Di UU KPK yang berlaku saat ini, kewenangan KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi. Hendak direvisi DPR dengan menghilangkan kewenangan penuntutan dari KPK itu. Kewenangan penuntutan akan dikembalikan kepada Kejaksaan
  2. KPK boleh menghentikan perkara melalui Surat Penghentian Penyidikan (SP3). Selama ini di KPK tidak dikenal SP3
  3. Kewenangan KPK untuk menyadap dipersulit dan dibatasi. Di dalam draft revisi UU KPK tersebut diatur bahwa untuk melakukan penyadapan pimpinan KPK harus minta izin tertulis terlebih dulu kepada Ketua Pengadilan Negeri, paling lama 1 x 24 jam setelah penyadapan dimulai. Penyadapan tersebut paling lama berlangsung hanya 3 bulan, dengan perpanjangan hanya satu kali untuk masa yang sama
  4. KPK akan dipantau oleh sebuah Dewan Pengawas yang ditunjuk oleh DPR.
Jika kita perhatikan keempat point di atas, maka jelas KPK akan menjadi lembaga pemberatasan korupsi yang diibaratkan sebagai “singa ompong”. Bagaimana mungkin bias sekuat sekarang jika kewenangan penyadapan harus meminta izin terlebih dahulu? Hal ini kan berpotensi menimbulkan kecurangan antara ketua pengadilan negeri dengan orang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Seperti yang dinyatakan oleh anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat[5];
"Korupsi dalam UU KPK adalah extraordinary crime jadi harus diberantas pula dengan cara extraordinary. Kalau mau menyadap saja harus izin ke sana-sini, ini sudah tidak benar. Gerindra mengajak semua pihak untuk melawan upaya pembonsaian KPK,".

BAB III
PEMBAHASAN

A. Upaya Penguatan Kewenangan KPK dalam Memberantas Korupsi di Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga anti korupsi paling berpengaruh di negeri Indonesia dan paling gigih dalam memberantas korupsi. Hal ini terbukti atas kasus-kasus yang menimpa sejumlah elite politik yang tidak maupun tertangkap tangan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Kekuatan yang dimiliki oleh KPK sangat tergantung oleh kewenangannya yang telah diatur dalam UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Isu yang terjadi belakangan ini adalah bahwa DPR menginginkan untuk merevisi UU KPK dengan dalih menguatkan. Namun jika ditelususi lebih jauh hal-hal yang akan direvisi justru akan melemahkan kekuatan KPK. buktinya ada empat ketentuan yang ingin direvisi dalam UU KPK sebagai berikut:
  1. Di UU KPK yang berlaku saat ini, kewenangan KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi. Hendak direvisi DPR dengan menghilangkan kewenangan penuntutan dari KPK itu. Kewenangan penuntutan akan dikembalikan kepada Kejaksaan
  2. KPK boleh menghentikan perkara melalui Surat Penghentian Penyidikan (SP3). Selama ini di KPK tidak dikenal SP3
  3. Kewenangan KPK untuk menyadap dipersulit dan dibatasi. Di dalam draft revisi UU KPK tersebut diatur bahwa untuk melakukan penyadapan pimpinan KPK harus minta izin tertulis terlebih dulu kepada Ketua Pengadilan Negeri, paling lama 1 x 24 jam setelah penyadapan dimulai. Penyadapan tersebut paling lama berlangsung hanya 3 bulan, dengan perpanjangan hanya satu kali untuk masa yang sama
  4. KPK akan dipantau oleh sebuah Dewan Pengawas yang ditunjuk oleh DPR.
Keempat hal di atas bukan cara untuk menguatkan KPK melainkan untuk melemahkan kekuatan KPK yang telah ditunjukkan selama ini ke publik. Berbagai tokoh menginginkan agar UU KPK perlu direvisi untuk lebih menguatkan fungsi dan wewenang KPK dengan tidak memangkas fungsi dan kewenangan penyadapan serta penyidikan melainkan disempurnakan posisi KPK.
Namun demikian ke depan potensi untuk memangkas kewenangan KPK oleh DPR masih sangat besar mngingat tugas dan wewenang DPR di bidang perundang-undangan. Oleh karena itu satu-satunya cara yang paling efektif dilakukan untuk mencegah praktek-praktek seperti ini, maka tidak ada jalan lain selain berupaya agar KPK dimasukkan di dalam Konstitusi Negara, UUD 1945 seperti halnya ICAC sebagai lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong. Dengan diadopsinya KPK ke dalam Konstitusi, maka semua upaya tersebut tidak mungkin ada lagi.

B. Langkah Pemerintah dalam Menangani Dualisme Kewenangan Antar Lembaga Kehakiman

Kekisruhan yang terjadi akhir-akhir ini seputar KPK,POLRI dan Kejaksaan menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan. Pasalnya terjadi “perebutan” penanganan korupsi kasus silmulator sim yang melibatkan petinggi POLRI. Hal tersebut terjadi lantaran masing-masing lembaga memiliki kewenangan yang sama dalam hal penyidikan. Berbagai upaya yang ditempuh untuk mencari jalan keluar namun tak kunjung selesai.
Hal tersebut memaksakan sang penguasa negeri dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengambil alih permasalahan hingga ditempuh jalur damai.
Sebelumnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh beberapa pakar berkompeten menyarankan untuk dilakukannya uji materil dengan mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). SKLN dipandang sebagai solusi terakhir apabila Polri dan KPK tetap tidak bisa berkompromi, dan Presiden pun tidak bisa mengatasi. Namun langkah ini tidak disetujui oleh Mahfud MD sebagai Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi karena menurutnya SKLN hanya dapat dilakukan oleh lembaga Negara yang tercantum dalam UUD 1945 sementara KPK tidak disebutkan secara eksplisit sehingga jalur tersebut tidak dapat dilakukan.

Oleh karena itu pemerintah mengambil langkah yang dianggap bijak yakni dengan melakukan MoU antara KPK, POLRI dan Kejaksaan.
Isi dari MoU tersebut sebagai berikut:
  1. Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.
  2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali.
  3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri.
  4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.
Istilah Nota Kesepakatan (MoU) adalah suatu produk dalam ranah hukum perdata dan jika dicari aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita tidak akan menemukan penjelasan secara khusus mengenai MoU ini, karena MoU ini lahir dari konsep hukum perjanjian dari negara-negara Common Law System. MoU ini sering kita dengar dari berbagai praktek bisnis sehari-hari yang terjadi di Indonesia, sehingga kita sudah sangat akrab dengan istilah MoU meskipun tidak berasal dari sistem hukum Indonesia.
Untuk itu perlu kiranya kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan suatu MoU dalam konsep hukum perdata dan bagaimana keterkaitannya dalam menyelesaikan permasalahan sengketa kewenangan tersebut. Memorandum of Understanding sebenarnya merupakan suatu bentuk perjanjian ataupun kesepakatan awal yang menyatakan pencapaian saling pengertian diantara pihak-pighak yang terikat pada MoU tersebut, namun kesepakatan yang dicapai tersebut tidak dimaksudkan oleh para pihak untuk memberikan akibat hukum (no intention to create legal relation) terhadap konsekuensi dari pelaksanaan MoU tersebut.
Oleh karena itu sering juga kita dengan bahwa MoU itu adalah merupakan suatu Gentlement’s Agreement yang hanya memunculkan kewajiban moril bukan kewajiban hukum. Kewajiban hukum itu timbul jika para pihak sepakat untuk memberikan akibat hukum dalam MoU tersebut. Lalu bagaimana kedudukan dari MoU yang telah ditandatangani oleh pihak KPK, Kejaksaan Agung dan Polri, seperti telah dijelaskan sebelumnya maka kedudukan dari MoU tersebut hanyalah merupakan suatu perjanjian yang memberikan sanksi atau akibat moral saja.
Namun demikian apakah MoU itu dapat dengan mudah untuk diingkari? tentunya tidak karena dalam MoU yang dibuat dan ditandatangani antara KPK, Kejaksaan dan Polri merupakan pertaruhan kepercayaan publik terhadap institusi. Sehingga jika salah satu pihak mengikari hal itu, maka penilaian ataupun tingkat kepercayaan publik akan jatuh kepada institusi tersebut. Oleh karena itu sangat berisiko jika KPK menganggap angin lalu ataupun mengabaikan MoU yang sudah di tandatangani oleh pimpinan KPK tersebut dan berdampak bagi integritas dan akuntabilitas dari KPK sendiri.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penulis dalam hal ini akan menyimpulkan hasil pemaparan sebelumnya, yaitu bahwa:
  1. Upaya penguatan KPK akan sia-sia jika hal yang ditekankan adalah dengan merevisi Undang-undang KPK. Hal tersebut jelas karena kesempatan bagi koruptor terbuka dengan adanya celah yang dapat digunakan jika undang-undang KPK direvisi. Celah tersebut bisa tertutupi jika KPK sebagai lembaga Negara diadopsi ke dalam UUD 1945 sehingga akan sangat sulit untuk melemahkan KPK. Adopsi dimaksudkan agar KPK menjadi organ Konstitusi yang tidak dengan mudah dapat diubah ataupun direvisi sewaktu waktu.
  2. Lahirnya Memorandum of Understanding merupakan langkah yang tepat oleh pemerintah dalam menangani perseturan ketiga lembaga Negara yakni KPK, POLRI dan Kejaksaan. Meskipun MoU ini hanya berakibat sanksi moril akan tetapi sangat berpengaruh bagi kepercayaan masyarakat ke depannya.

B. Saran

  1. Kepada pemerintah dan segenap pemangku kewenangan agar mempertimbangkan upaya KPK untuk diadopsi ke dalam UUD 1945 agar kekuatan yang dimiliki KPK dapat terjaga dengan baik sehingga mampu memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.
  2. Untuk ketiga lembaga penegak hukum untuk saling bersinergi dalam memberantas tindak pidana korupsi. Adanya MoU merupakan langkah awal menuju perubahan yang lebih baik dalam menegakkan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. Menguak Tabir Sosiologi Hukum. Diktat. Makassar. 2009.
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: kencana, 2009.
Imam syaukani, A.Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum. Depok: Rajawali Pers, 2012.
http://www.rimanews.com/read/20120930/77002/inilah-butir-butir-revisi-uu-kpk-yang-melumpuhkan-kpk-itu

[1] Achmad ali,2009,menguak tabir sosiologi hukum, bahan ajar, Hal.52.
[2] Imam syaukani dan A.Ahsin Thohari, cet.8, 2012, Dasar-dasar politik hukum, hal.62.
[3] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[4] Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, hal.400-500
[5] http://www.rimanews.com/read/20120930/77002/inilah-butir-butir-revisi-uu-kpk-yang-melumpuhkan-kpk-itu

About The Author

Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.

Share This Article


Related Post

Tidak ada komentar:

Leave a Reply